Tipe-tipe Kepemimpinan Pendidikan: Otokratis, Pseudo-Demokratis, Laissez-Faire, dan Demokratis

Salam pengetahuan: sobat pembaca kita akan membahas tipe-tipe kepemimpinan pendidikan yang akan kita pusatkan pada official leadership berdasarkan cara pelaksanaanya yakni diantaranya kepemimpinan otokratis, pseudo-demokratis, laissez-faire, dan demokratis. Tipe-tipe kepemimpinan di bawah ini adalah tipe-tipe yang sangat berkaitan dengan sifat dan watak pribadi seorang pemimpin. Di dalam praktik ternyata tipe-tipe itu bervariasi tergantung pada situasi kematangan bawahan (terpimpin) yang akan dibinanya.

Inilah yang disebut kepemimpinan situasional, yang dimaksud dengan situasi kematangan itu adalah kemampuan terpimpin yang berunsur pada kemampuan pengetahuan dan kemampuan keterampilan, di samping itu tergantung pula pada kematangan kemauan terpimpin yang berunsur motivasi dari dalam dirinya dan keyakinan dirinya. Selain dari itu sangat tergantung pula pada sifat materi, waktu pelaksanaan, dan tempat pelaksanaan itu sendiri.

1 . Kepemimpinan Otokratis
Seorang pemimpin yang otokratis ingin memperlihatkan kekuasaannya dan ingin berkuasa. Ia berpendapat bahwa tanggung jawabnya sebagai pemimpin besar sekali. Hanya dialah yang bertanggung jawab dalam kepemimpinannya, maju mundurnya sekolah yang dipimpinnya sangat bergantung padanya. Sehubungan dengan itu, dengan kerja keras, teliti, dan tertib, ia menghendaki dan mengharapkan agar bawahannya juga harus bekerja keras dan bersungguh-sungguh. Ia takut dan merasa cemas kalau-kalau pekerjaan yang dilakukan bawahannya yang tidak sesuai dengan yang diharapkannya. Oleh karena itu pengawasannya sangat ketat.

Suasana di sekolah selalu tegang, instruksi-instruksi yang diberikan harus dipatuhi, dialah yang membuat peraturan yang harus ditatati, dia pula yang mengawasi dan menilai pekerjaan bawahannya. Guru-guru tidak diberi kesempatan untuk berinisiatif dan mengembangkan daya kreatifnya, dia sangat menentukan apa yang harus dikerjakan dan bagaimana cara mengerjakannya. Apa yang menurut pendapatnya benar itulah yang benar, pendapat itu tidak dapat dibantah oleh guru-guru.

Acara rapat dewan guru disusunnya sendiri, ia juga memimpin rapat itu dan ia tidak menghendaki guru-guru keluar dari pokok pembicaraan dalam rapat itu. Ia memimpin rapat secara tertib, teratur, tegas, dan cepat. Mengingat besarnya tanggung jawab terhadap sekolah, ia berpendapat bahwa ia adalah penghubung yang tepat dan baik antara sekolah dan masyarakat. Pada umumnya situasi sekolah tidak akan mengembirakan guru-guru. Sebagai akibatnya, mereka bersifat acuh tak acuh atau memberontak, kecuali guru yang menjadi sahabat atau kesayangannya.

2 . Kepemimpinan Pseudo-Demokratis
Seorang pemimpin yang bersifat pseudo-demokratis sering memakai “topeng”. Ia berpura-pura memperlihatkan sifat demokratis di dalam kepemimpinannya, ia member hak dan kuasa kepada guru-guru untuk menetapkan dan memutuskan sesuatu, tetapi sesungguhnya ia bekerja dengan perhitungan. Ia mengatur siasat agar kekuasaannya terwujud kelak.

Dengan tingkah laku, bahasa yang dipakai, dan sikapnya, ia ingin member kesan bahwa ia adalah pemimpin yang sungguh-sungguh demokratis. Demikian pula dengan pekerjaannya di sekolah, ia berusaha supaya di dalam pergaulan disenangi dan disegani. Ia sangat sopan dan selalu ingin memberi pertolongan kepada bawahannya, jika diminta; tetapi sifat-sifat dan sikap itu ditonjolkan dengan maksud supaya mendapat kepercayaan dari pihak guru yang dikasihinya.

Masalah-masalah yang dihadapi di sekolah diperbincangkan terlebih dahulu dengan guru-guru yang berpengaruh sebelum dibawa ke dalam siding dewan guru-guru. Ia yakin bahwa setiap usul yang bertentangan dengan perbincangan dan putusan bersama guru-guru itu pasti akan ditolak di dalam rapat. Acara rapat dewan guru disusun oleh suatu panitia yang bekerja sama dengan kepala sekolah. Di dalam rapat ia banyak memberi kesempetan kepada guru untuk mengemukakan pendapat dan saran.

Ia ingin memberi kesan bahwa ia sungguh-sungguh memperhatikan pendapat dan saran itu, tetapi sebenarnya ia licik sekali dan memanipulasi sedemikian rupa sehingga pendapatnyalah yang harus disetujui dan diterima rapat. Jika ada guru-guru yang tidak dapat menyetujui pendapat, mereka tidak berani beraksi dan menentangnya. Sebagai akibatnya, setiap tahun ada guru yang meminta pindah ke sekolah lain.

Bagi pemimpin seperti itu, kepemimpinan  demokratis berarti memberi bimbingan dengan lemah-lembut dalam mengerjakan hal-hal yang dikehendakinya supaua melakukannya. Demikianlah sifat seorang pemimpin yang “pseudo-demokratis” (pseudo berarti palsu). Ia sebenarnya bersifat otokratis, tetapi dalam kepemimpinanya ia member kesan demokratis. Kimball Wiles menyebut cara memimpin seperti itu dengan istilah diplomatic  manipulation atau manipulasi politik.

3 .  Kepemimpinan Laissez-Faire
Pemimpin yang bersifat laissez-faire menghendaki supaya kepada bawahannya diberikan banyak kebebasan. Ia berpendapat “Biarlah guru-guru bekerja sesuka hatinya, berinisiatif, dan menurut kebujaksanaan sendiri. Berikan kepercayaan kepada mereka, hargailah usaha-usaha mereka masing-masing, jangan menghalang-halangi mereka dalam pekerjaan, dan mereka tidak usah diawasi dalam melaksanakan tugas. Segala sesuatu pasti akan beres.”

Ia yakin bahwa guru-guru akan bekerja dengan kegembiraan. Pemimpin tipe ini bekerja tanpa rencana. Dia berpendapat bahwa suatu rencana akan mengekang kebebasan guru, oleh karena itu bimbingan pun tidak diberikan kepada mereka. Karena ia membiarkan guru-guru bekerja sesuka hatinya, pekerjaan mereka tentu tidak teratur. Karena pekerjaan guru tidak teratur, pekerjaan secara keseluruhan di sekolah itu umumnya juga sangat tidak teratur dan kacau balau.

Pemimpin bersikap acuh tak acuh terhadap tugas dan kewajibannya di sekolah dan bersikap masa bodoh. Ia beranggapan bahwa dengan memberi kebebasan kepada guru-guru, mereka akan lebih bersemangat dan bergembira dalam melaksanakan tugas mereka. Ia telah memberi pengertian yang salah dan kacau pada kata demokrasi.

Ia sama sekali tidak menganakemaskan dan menganaktirikan guru. Semuanya diperlakukan sama, semuanya merupakan penasihat baginya. Ia memberi kesempatan banyak kepada para guru untuk membicarakan pandangan mereka di kantornya.

Rapat dewan guru sering diadakan dan biasanya berlangsung lama. Setiap guru ingin memperdengarkan suaranya di dalam rapat tersebut yang berlangsung tanpa susunan acara yang tersusun dengan rapi dan sistematis. Ada kalanya rapat diadakan jika diminta oleh seorang atau beberapa guru saja. Kadang-kadang pimpinan rapat diserahkan kepada salah seorang guru yang dianggap cukup cakap. Sementara rapat itu berlangsung, kepala sekolah meninggalkan rapat dan melakukan tugas lain. Sering rapat tersebut tidak menghasilkan apa-apa karena pembicaraan tanpa arah dan bertele-tele. Guru-guru tidak mengetahui rencana dan kehendak pemimpin sekolah, sehingga mereka menjadi bingung dan ragu-ragu.

Pemimpin yang bersifat laissez-faire sebenarnya bukan pemimpin. Sebagai akibatnya guru-guru selalu sibuk dengan kegemarannya masing-masing, dan semua bekerja tanpa tujuan bersama. Apa yang menyebabkan pemimpin itu bersifat demikian? Mungkin ia merasa bahwa ia tidak sanggup menjalankan tugas itu. Mungkin ia juga tidak mengetahui cara memimpin yang baik dan “letting people do as they please” adalah semboyangnya.

4 . Kepemimpinan Demokratis
Macam kepemimpinan yang baik dan yang sesuai dewasa ini ialah kepemimpinan demokratis. Semua guru di sekolah bekerja untuk mencapai tujuan bersama. Semua putusan diambil melalui musyawarah dan mufakat serta harus ditaati. Pemimpin menghormati dan menghargai pendapat tiap-tiap guru dan member kesempatan kepada guru-guru untuk mengembangkan inisiatif dan daya kreatifnya. Pemimpin mendorong guru-guru dalam mengembangkan keterampilannya bertalian dengan usaha-usaha mereka untuk mencoba suatu metode yang baru, misalnya metode yang akan mendatangkan manfaat bagi perkembangan pendidikan dan pengajaran di sekolah.

Pemimpin demokrasi tidak melaksanakan tugasnya sendiri, ia bersifat bijaksana di dalam pembagian pekerjaan dan tanggung jawab. Dapat dikatakan bahwa tanggung jawab terletak pada pundak dewan guru seluruhnya, termasuk pemimpin sekolah. Ia bersifat ramah-tamah dan selalu bersedia menolong bawahannya dengan member nasihat, anjuran, serta petunjuk jika diperlukan. Ia menginginkan supaya guru-gurunya maju dan berusaha mencapai kesuksesan dalam usaha mereka masing-masing. Di dalam kepemimpinanya, ia berusaha supaya bawahannya kelak dapat menjalankan tugasnya sebagai pemimpin.

Banyak perhatiannya yang dicurahkan untuk tugas pendidikan dan pengajaran. Acara rapat dewan guru ditetapkan bersama guru dan rapat tersebut dilaksanakan secara teratur serta tidak memakan waktu banyak. Ia dapat membagi waktu untuk rapat dengan efisien dan kedisiplinan tampak sekali di dalamnya. Kepala sekolah lebih mengutamakan kepentingan guru daripada kepentingannya sendiri.

Di bawah kepemimpinannya guru-guru bekerja dengan suka cita untuk memajukan pendidikan di sekolah. Semua pekerjaan dilaksanakan sesuai dengan rencana yang telah dipikirkan dan disepakati bersama. Akhirnya, terciptalah suasana kekeluargaan yang sehat dan menyenangkan. Pemimpin sekolah dianggap sebagai seorang bapak, saudara, atau kakak yang dapat menempatkan diri sesuai dengan kondisi dan keadaan lingkungannya.

Comments

Post a Comment