Pola-pola Belajar Siswa


Dengan memperhatikan entering behavior (termasuk tahapan-tahapan perkembangan perilaku dan pribadi siswa), terutama yang bersangkutan dengan aspek-aspek kognitifnya, Gagne (Lefrancois 1975:114-120) mengkategorikan pola-pola belajar siswa kedalam delapan tipe yakni :1)Signal Learning, 2)Stimulus-Respons Learning, 3)Chaining, 4)Verbal Association, 5)Discrimination Learning, 6)Concept Learning, 7)Rule Learning, dan 8)Problem Solving, yang mana yang satu merupakan prasyarat (prerequisite) bagi yang lainnya/yang lebih tinggi hierarkinya (hierarchical).

Setiap tipe dapat dibedakan satu sama lain dari segi kondisinya yang diperlukan untuk berlangsung proses belajar mengajar yang bersangkutan. Kedelapan tipe belajar itu ialah sebagai berikut:
1 . Tipe I: Signal Learning (belajar signal atau tanda, isyarat)
Tipe belajar ini menduduki tahapan hierarki (yang paling dasar). Jadi, tidak menuntut prasyarat, tetapi merupakan prasyarat bagi tipe belajar lainnya yang lebih tinggi. Signal learning dapat didefenisikan sebagai proses penguasaan pola dasar perilaku yang bersifat involunter (involuntary) (tidak disengaja dan didasari tujuan). Dalam pola perilaku ini terlibat aspek-aspek reaksi emosional di dalamnya. Misalnya, seorang anak menolak berobat ke dokter sebagai reaksi emosional atas pengalamannya yang dirasakan sebagai hal yang kurang menyenangkan. Kondisi yang diperlukan bagi berlangsungnya tipe belajar ini, ialah diberikan stimulus (signal) secara serempak (contiguity) perangsang-perangsang tertentu dengan berulang-ulang (repetition)

2 . Tipe II: Stimulus-Respons Learning (belajar stimulus-respons, sambut rangsang)
Kalau tipe belajar Signal Learning dapat digolongkan ke dalam jenis belajar (classical condition)(Pavlov), maka tipe belajar II ini termasuk ke dalam operant or instrumental condition (Kible, 1961) atau belajar dengan trial dan error (Throndike). Misalnya, anjing dapat melakukan jabat tangan kalau mendengar perintah tertentu dari pelatihnya. Gagne berpendapat, proses belajar bahasa pada kanak-kanak menunjukan proses yang serupa dengan itu. Kondisi yang diperlukan untuk dapat berlangsungnya tipe belajar ini ialah faktor reinforcement. Jarak waktu antara stimulus pertama dan stimulus berikutnya amat penting. Semakin singkat tertundanya (delay) S-R pertama dan berikutnya semakin baik bagi terbentuknya reinforcement.

3 . Tipe III: Chaining (mempertautkan) dan Tipe IV: Verbal Association (asosiasi verbal)
Kedua tipe belajar ini setaraf, ialah belajar menghubungkan satuan ikatan S-R yang satu dengan yang lainnya. Tipe III berkenaan dengan aspek-aspek perilaku psikomotorik, sedangkan Tipe IV berkenaan dengan belajar verbal. Kondisi yang diperlukan bagi berlangsungnya proses belajar ini, antara lain secara internal pada diri siswa harus sudah terkuasai sejumlah satuan-satuan pola S-R, baik psikomotorik maupun verbal. Disamping itu, prinsip contiguity, repetition, dan reinforcement masih tetap memegang peranan penting bagi berlangsungnya proses chaining dan association tersebut.

4 . Tipe V: Discrimination Learning (belajar mengadakan perbedaan)
Dalam tahap belajar ini, siswa mengadakan diskriminasi (seleksi dan pengujian) diantara dua perangsang atau sejumlah (multiple, kalau lebih dari dua) stimulus yang diterimanya kemudian memilih pola-pola sambutan (response) yang dipandangnya paling sesuai. Kondisi yang utama untuk dapat berlangsung proses belajar ini ialah siswa telah mempunyai kemahiran melakukan chaining dan association serta memiliki kekayaan pengalaman (pola-pola satuan S-R)

5 . Tipe VI: Concept Learning (belajar konsep, pengertian)
Dengan diperolehnya kemahiran mengadakan diskriminasi atas pola-pola S-R itu, siswa pada tipe VI belajar mengidentifikasikan persamaan-persamaan karakteristik dari sejumlah pola-pola S-R tersebut. Selanjutnya berdasarkan persamaan ciri-ciri dari sekumpulan stimulus dan juga objek-objeknya ia membentuk suatu pengertian atau konsep-konsep. Kondisi utama yang diperlukan bagi proses berlangsungnya tipe ini ialah terkuasainya kemahiran diskriminasi dan proses kognitif fundamental sebelumnya. Secara eksternal, adanya persamaan-persamaan ciri tertentu dari sejumlah perangsang dan objek-objek yang dihadapkan pada individu.

6 . Tipe VII: Rule Learning (belajar membuat generalisasi, hukum-hukum)
Pada tingkat ini siswa belajar mengadakan kombinasi dari berbagai konsep (pengertian) dengan mengoperasikan kaidah-kaidah logika formal (induktif, deduktif, analisis, sintesis, asosiasi, diferensiasi, komparasi, dan kausalitas), sehingga siswa dapat membuat konklusi (kesimpulan) tertentu yang mungkin selanjutnya dapat dipandang sebagai rule (prinsip, dalil, aturan, hukum, kaidah, dan sebagainya). Kondisi yang diisyratkan memungkinkan tercapainya proses belajar seperti ini, Gagne menyarankan:
  • kepada siswa diberitahukan tentang bentuk performance yang diharapkan kalau yang bersangkutan telah menjalani proses belajar (semacam TIK/TPK);
  • kepada siswa diberikan sejumlah pertanyaan yang merangsang/mengingatkannya (recall) terhadap konsep-konsep yang telah dipelajari dan dimilikinya untuk mengungkapkan perbendaharaan pengetahuannya;
  • kepada siswa diberikannya beberapa kata-kata kunci (kode)yang menyarani kea rah pembentukan rule tertentu yang diharapkan; 
  • diberikan kesempatan kepada siswa mengekspresikan dan menyatakan rule tersebut dengan kata-kata sendiri;
  • kepada siswa diberikan kesempatan selanjutnya untuk membuat rumusan rule tersebut dalam bentuk-bentuk statement formal (bersifat optional sukarela).
7 . Tipe VIII: Problem Solving (belajar memecahkan masalah)
Pada tingkat ini siswa belajar merumuskan dan memecahkan masalah (memberikan respons terhadap rangsangan yang menggambarkan atau membangkitkan situasi problematik), dengan berbagai rule yang telah dikuasainya. Menurut John Dewey (Loree, 1970:438-439) dalam bukunya How We Think, proses belajar pemecahan masalah itu berlangsung sebagai berikut.
  • Become aware of the problem(menyadari adanya masalah). Individu menyadari masalah kalau ia dihadapkan kepada suatu situasi keraguan dan kekaburan, sehingga merasakan adanya semacam masalah; 
  • Clarifying and defining the problem (menegaskan dan merumuskan masalahnya). Individu melokalisasikan di mana letak sumber kesulitan tersebut untuk memungkinkan mencari jalan pemecahannya. Ia menandai aspek mana yang mungkin dipecahkan dengan menggunakan prinsip atau dalil atau rule yang diketahui sebagai pegangan. 
  • Searching for facts and formulating hypotheses (mencari fakta pendukung dan merumuskan hipotesis). Individu menghimpun berbagai infomasi yang relevan, termasuk bagaimana pengalaman orang lain dalam menghadapi pemecahan masalah yang serupa. Kemudian mengidentifikasikan berbagai alternatif kemungkinan pemecahannya yang dapat dirumuskan sebagai pertanyaan dan pernyataan jawaban sementara bagi yang memerlukan pembuktian (hipotesis); 
  • Evaluating proposal solution (mengevaluasi alternatif pemecahan yang dikembangkan). Setiap alternatif  pemecahan ditimbang dari segi untung ruginya. Selanjutnya, dilakukan pengambilan keputusan memilih alternatif yang dipandang paling mungkin (feasible) dan menguntungkan; 
  • Experimental verification (mengadakan pengujian atau verifikasi secara eksperimental, uji coba). Alternatif pemecahan yang dipilih dipraktikkan atau dilaksanakan. Dari hasil pelaksanaan itu akan diperolah informasi untuk membuktikan (diterima-tidaknya) hipotesis yang telah dirumuskan.
Dengan demikian, proses belajar yang tertinggi ini, hanya mungkin dapat berlangsung kalau proses belajar fundamental lainnya telah dimiliki dan dikuasai. Kondisi lain yang diperlukan ialah kepada siswa hendaknya:
  • diberikan stimulus yang dapat menimbulkan situasi bermasalah dengan diri siswa; 
  • diberikan kesempatan untuk berlatih merumuskan dan mencari alternatif pemecahannya; 
  • diberikan kesempatan untuk mencoba mengalami sendiri melaksanakan pemecahan dan pembuktiannya.
Dengan proses pengidentifikasikan entering behavior seperti dijelaskan dalam paragraf terdahulu, guru akan dapat mengidentifikasi pada tahap belajar manakah atau tipe belajar manakah yang telah dijalani siswanya. Atas dasar itu guru dapat memilih alternatif strategi pengorganisasian bahan dan kegiatan mengerjakannya.

Meskipun kategorisasi jenis dan tingkat belajar menurut Gagne itu lebih cendrung kepada kawasan perilaku kognitif, namun dapat dipertimbangkan pula bagi kawasan perilaku lainnya. Seperti dinyatakan oleh Loree (1970: 464-505) bahwa dalam berlangsungnya proses belajar itu, ketiga kawasan (kognitif, afektif dan psikomotorik) perilaku tersebut berjalan satu sama lain. Dalam mempelajari sikap terhadap objek tertentu misalnya, jalinan itu amat jelas, seperti digambarkan dalam skema di bawah ini.


Dari skema di atas, tampak jelas bahwa suatu objek sikap, (orang, situasi, informasi atau kelompok sosial dan sebagainya) dapat menumbuhkan suatu sikap tertentu yang didalamnya melibatkan kawasan afektif (sambutan rasa simpati, pernyataan lisan dari mana simpati itu), kognitif (sambut perseptual, disertai pernyataan lisan atas keyakinannya) tingkah laku (gerak-gerik lahiriyah, disertai pernyataan lisan atas perilaku tersebut).

Comments

Post a Comment