Sistem Belajar Mengajar yang Menarik dan Prosedurnya: Enquiry-Discovery Learning, Expository Teaching, Mastery Learning, dan Humanistic Education

Salam
pengetahuan! Hai Sobat Pembaca, Dewasa ini para ahli teori belajar telah
mencoba menggambarkan cara pendekatan atau sistem pengajaran (instructional system) atau proses
belajar mengajar (teaching-learning
process). Di antara berbagai sistem pengajaran yang banyak menarik
perhatian akhir-akhir ini ialah Enquiry-Discovery
Learning (belajar mencari dan menemukan sendiri), Expository Teaching, Mastery
Learning (belajar tuntas), dan Humanistic Education. Seperti gambar diatas, Apakah Sobat masih ingat film apa di atas? Ya! "The Magic Shool Bus". Tahukah Sobat, bahwa dalam film tersebut menceritakan guru yang mengajar dengan sangat menarik dan itu salah satu yang akan kita bahas kali ini (Enquiry-Discovery Learning). Oleh karena itu, mari kita simak
Penjelasan dan prosedur-prosedurnya.
A . Enquiry-Discovery Learning ( Belajar
Mencari dan Menemukan Sendiri)
Dalam sistem
belajar-mengajar Enquiry-Discovery Learning, guru menyajikan bahan pelajaran
tidak dalam bentuknya yang final. Siswalah yang diberi kesempatan untuk mencari
dan menemukannya sendiri dengan menggunakan teknik pendekatan pemecahan masalah
(problem solving techniques). Secara garis besar prosedur
Enquiry-Discovery Learning adalah sebagai berikut:
- Stimulasi (stimulation). Guru mulai dengan bertanya atau mengatakan persoalan, atau menyuruh siswa membaca atau mendengarkan (tape recorder) uraian yang memuat permasalahan (problematic).
- Perumusan Masalah (problem statement). Siswa diberi kesempatan mengidentifikasi berbagai permasalahan yang relevan sebanyak mungkin. Kemudian mereka harus membatasi dan memilih yang dipandang paling menarik dan feasible untuk dipecahkan. Permasalahannya yang dipilih ini selanjutnya harus dirumuskan dalam bentuk pertanyaan, atau hipotesis (pernyataan, sebagai jawaban sementara atas pertanyaan tersebut).
- Pengumpulan data (data collection). Untuk menjawab pertanyaan atau membuktikan benar tidaknya hipotesis itu, siswa diberikan kesempatan untuk mengumpulkan berbagai informasi yang relevan dengan jelas, melakukan telaah literatur, mengamati objeknya, mewawancarai orang sumber, mencoba (uji coba) sendiri, dan sebagainya.
- Analisis data (data processing). Semua informasi (hasil bacaan, wawancara, observasi, dan sebagainya) itu diolah (dicek, diklasifikasi, ditabulasikan bahkan kalau perlu dihitung dengan cara tertentu) serta ditafsirkan pada tingkat kepercayaan tertentu.
- Verifikasi (verification). Berdasarkan hasil pengolahan data dan tafsiran atas informasi yang ada tersebut (available-information), pertanyaan atau hipotesis yang telah dirumuskan terdahulu itu kemudian dicek, apakah terjawab atau dengan kata lain, terbukti atau tidak.
- Generalisasi (generalization). Tahap selanjutnya, berdasarkan hasil verifikasi tadi, siswa belajar menarik generalisasi atau kesimpulan tertentu.
Sistem
belajar-mengajar Enquiry-Discovery Learning dikembangkan oleh Bruner
(Lefrancois, 1975: 121-126). Landasan pemikiran yang melandasi pendekatan
belajar-mengajar ini ialah bahwa hasil belajar dengan cara ini lebih mudah
dihafal dan diingat, mudah ditransfer (untuk menghadapi pemecahan masalah)
pengetahuan dan kecakapan (intellectual
potency) siswa yang bersangkutan. Lebih jauh lagi dapat menumbuhkan motif
intrinsik (karena siswa merasa puas atas pengalamannya sendiri).
Pendekatan
belajar Enquiry-Discovery Learning sangat cocok untuk materi pelajaran yang
bersifat kognitif. Kelemahannya, antara lain, memakan waktu yang banyak (time consuming) dan kalau kurang
terpimpin dan terarah, dapat menjurus kepada kekaburan atas materi yang
dipelajarinya.
B . Expository Teaching
Dalam sistem
Expository Teaching, guru menyajikan bahan dalam bentuk yang telah dipersiapkan
secara rapi, sistematik, dan lengkap sehingga siswa tinggal menyimak dan
mencernanya secara teratur dan tertib. Secara garis besar prosedur Expository
Teaching adalah sebagai berikut.
- Persiapan (preparation). Guru menyiapkan bahan selengkapnya secara sistematik dan rapi.
- Pertautan (apeception/bahan terdahulu). Guru bertanya atau memberikan uraian singkat untuk mengarahkan perhatian siswa kepada materi yang telah diajarkan.
- Penyajian (presentation/bahan baru). Guru menyajikan dengan cara memberi ceramah atau menyuruh siswa membaca bahan yang telah dipersiapkan (diambil dari buku, teks tertentu atau ditulis guru).
- Evaluasi (recitation). Guru bertanya dan siswa menjawab sesuai dengan bahan yang dipelajari; atau siswa yang disuruh menyatakan kembali dengan kata-kata sendiri pokok-pokok yang telah dipelajari (lisan atau tertulis).
Sistem Expository
Teaching dikembangkan oleh Ausubel
(Lefrancois 1975: 126-130) sebagai reaksi terhadap sistem yang dikembangkan
oleh Bruner, yang dipandangnya sangat efisien. Ausubel berpendapat bahwa pada
tingkat-tingkat belajar yang lebih tinggi, siswa tidak harus mengalami sendiri.
Siswa akan mampu lebih efisien memperoleh informasi sebanyak-banyaknya dalam
tempo yang sesingkat-singkatnya. Yang penting siswa dikembangkan penguasaanya
atas kerangka konsep-konsep dasar
(advance organizer) atau pola-pola
pengertian dasar tentang sesuatu hal sehingga dapat mengorganisasikan data,
informasi, dan pengalaman yang bertalian dengan hal tersebut.
Akan tetapi,
Ausubel masih juga tetap mengakui bahwa pendekatan Bruner (enquiry-discovery) itu memang dapat memberikan hasil yang lebih
lama diingat, mudah ditransfer, dan dapat meningkatkan motivasi yang intrinsik.
C . Mastery Learning (Belajar Tuntas)
Apakah benar
bahan yang telah dipersiapkan dengan sebaik-baiknya oleh guru untuk suatu
periode (masa waktu) belajar tertentu itu dapat dikuasai oleh siswa? Hasil
belajar studi menunjukkan bahwa hanya sebagian (kecil) siswa tertentu yang
mampu menguasai sebagian besar (90%-100%) dari bahan yang disajikan oleh guru.
Yang lainnya (sebagian besar) bervariasi antara 50%-80%. Sebagian lainnya lebih
kecil lagi dari itu penghayatannya atas bahan pelajaran. Adanya variasi
kemampuan (intelektual, bakat) siswa merupakan latar belakangnya. Dengan bakat
(aptitude) oleh Caroll (Gage and
Berliner, 1975:578) diartikan sebagai waktu (time), ialah waktu yang
diperlukan siswa untuk mencapai taraf penguasaan bahan secara memadai seperti
yang ditetapkan (norma;criterion), disamping sebagai indikator peramal taraf
penguasaan yang akan dicapai siswa setelah menjalani proses belajar pada waktu
yang lamanya telah disediakan (time
allowed).
Atas dasar
itu, Caroll dan rekan-rekannya (Bloom, Block) berasumsi bahwa setiap siswa pada
dasarnya kalau diberikan kesempatan belajar dengan mempergunakan waktu sesuai
dengan yang diperlukannya, mungkin saja mencapai taraf penguasaan seperti yang
dicapai oleh rekan-rekannya (dengan waktu terbatas, seperti yang disediakan).
Dengan demikian, taraf atau tingkatan belajar (degree of learning) itu pada hakikatnya merupakan fungsi dari
proporsi waktu yang disediakan untuk belajar (time allowed for learning) dengan waktu yang diperlukan untuk
belajar (time needed for learning)
oleh siswa yang bersangkutan. Atau kalau dinyatakan dalam formula
Degree of learning = Time allowed for
learning / time needed for learning
Akan tetapi,
Caroll dengan rekan-rekannya tidak menyangkal ada faktor dominan lain yang
berpengaruh pula atas penguasaan belajar itu antara lain kualitas pengajaran (the quality of instruction) dan taraf
kemampuan siswa untuk memahami pengajaran itu (the students ability to understand the instruction). Di samping itu,
faktor motivasi juga amat berpengaruh (student’s
motivation to leasrn). Dengan demikian, formula di atas dapat dikembangkan
lebih lanjut:
Degree of learning = ( f ) (Time
allowed x motivation) / (Time needed for learn x quality of instruction x
ability to understand instruction)
Oleh karena
itu, kalau kita mengaharapkan siswa dapat mencapai taraf penguasaan atas bahan
pengajaran tertentu (misalnya, minimal 60%), bahan pelajaran harus dipersiapkan
secara sempurna. Begitu juga instrumen evaluasi atau pengukuran hasil
belajarnya harus sudah dipersiapkan.
Bahan
pelajaran harus diperinci dan diorganisasikan ke dalam satuan-satuan (units) tertentu sampai pada
satuan-satuan terkecil yang berarti (meaningful)
dan merupakan komponen yang dapat berdiri sendiri, walaupun marupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari satuan yang lebih besar. Satuan bahan yang terkecil
inilah yang disebut Modul.
Dengan
demikian, proses belajar yang berorientasi pada prinsip mastery learning, harus dimulai dengan penguasaan (mastery) bagian terkecil, untuk kemudian
baru dapat melanjutkan ke dalam satuan (modul) atau unit berikutnya. Atas dasar
tersebut maka dewasa ini telah
dikembangkan sistem pelajaran berprogram (programmed
instruction) dan juga sistem pengajaran modul (modular instruction), bahkan Computer
Assisted Instruction (CAI). Dengan tercapainya tingkat penguasaan hasil pelajaran yang tinggi, maka akan menunjukkan sikap mental yang sehat pada
siswa yang bersangkutan.
D . Humanistic Education
Baik expository atau mastery learning, keduanya bertolak dari anggapan atau harapan
bahwa siswa itu pada akhirnya harus menguasai bahan tertentu, seperti yang
telah ditetapkan oleh guru atau penyusun program (programmer) yang bersangkutan (norm
criterion). Sedangkan di dalam kenyataan kemampuan dasar (IQ dan uptitude)
siswa yang bersifat herediter itu tidak dapat kita sangkal menunjukkan variasi
yang bersifat individual sehingga tidak mungkin semua siswa akan mencapai
tingkat penguasaan pelajaran yang sama.
Oleh karena
itu, muncul suatu gerakan teori belajar yang menitikberatkan pada upaya
membantu siswa agar ia sanggup mencapai perwujudan dirinya (self-realization) sesuai dengan
kemampuan dasar dan keunikan (uniqueness)
yang dimilikinya. Gerakan ini pada dasarnya bertolak dari prinsip-prinsip teori
kepribadian oleh Carl Rogers (Lefrancois:1975: 137-154)
Cara
pendekatannya, sebenarnya masih bersifat enquiry
discovery based approaches. Karakteristik utama metode ini, antara lain
bahwa guru hendaknya tidak membuat jarak yang terlalu tajam dengan siswa.
Hendaknya menempatkan diri berdampingan dengan siswa sebagai siswa senior yang
selalu siap menjadi orang sumber (resource
person) atau konsultan dan berbicara
kalau memang dirasa benar-benar dirasakan perlu harus berbicara (Laurence
Stenhouse, 1976). Sasaran akhir dari proses belajar-mengajar menurut paham Humanistic Education adalah self actualization yang seoptimal
mungkin dari setiap siswa.
Comments
Post a Comment