Inilah yang
disebut kepemimpinan situasional, yang dimaksud dengan situasi kematangan itu
adalah kemampuan terpimpin yang berunsur pada kemampuan pengetahuan dan
kemampuan keterampilan, di samping itu tergantung pula pada kematangan kemauan
terpimpin yang berunsur motivasi dari dalam dirinya dan keyakinan dirinya.
Selain dari itu sangat tergantung pula pada sifat materi, waktu pelaksanaan,
dan tempat pelaksanaan itu sendiri.
1 . Kepemimpinan Otokratis
Seorang pemimpin yang otokratis ingin memperlihatkan kekuasaannya dan ingin berkuasa. Ia
berpendapat bahwa tanggung jawabnya sebagai pemimpin besar sekali. Hanya dialah
yang bertanggung jawab dalam kepemimpinannya, maju mundurnya sekolah yang
dipimpinnya sangat bergantung padanya. Sehubungan dengan itu, dengan kerja
keras, teliti, dan tertib, ia menghendaki dan mengharapkan agar bawahannya juga
harus bekerja keras dan bersungguh-sungguh. Ia takut dan merasa cemas
kalau-kalau pekerjaan yang dilakukan bawahannya yang tidak sesuai dengan yang
diharapkannya. Oleh karena itu pengawasannya sangat ketat.
Suasana di
sekolah selalu tegang, instruksi-instruksi yang diberikan harus dipatuhi,
dialah yang membuat peraturan yang harus ditatati, dia pula yang mengawasi dan
menilai pekerjaan bawahannya. Guru-guru tidak diberi kesempatan untuk
berinisiatif dan mengembangkan daya kreatifnya, dia sangat menentukan apa yang
harus dikerjakan dan bagaimana cara mengerjakannya. Apa yang menurut
pendapatnya benar itulah yang benar, pendapat itu tidak dapat dibantah oleh
guru-guru.
Acara rapat
dewan guru disusunnya sendiri, ia juga memimpin rapat itu dan ia tidak
menghendaki guru-guru keluar dari pokok pembicaraan dalam rapat itu. Ia
memimpin rapat secara tertib, teratur, tegas, dan cepat. Mengingat besarnya
tanggung jawab terhadap sekolah, ia berpendapat bahwa ia adalah penghubung yang
tepat dan baik antara sekolah dan masyarakat. Pada umumnya situasi sekolah
tidak akan mengembirakan guru-guru. Sebagai akibatnya, mereka bersifat acuh tak
acuh atau memberontak, kecuali guru yang menjadi sahabat atau kesayangannya.
2 . Kepemimpinan Pseudo-Demokratis
Seorang pemimpin yang bersifat pseudo-demokratis
sering memakai “topeng”. Ia
berpura-pura memperlihatkan sifat demokratis di dalam kepemimpinannya, ia
member hak dan kuasa kepada guru-guru untuk menetapkan dan memutuskan sesuatu,
tetapi sesungguhnya ia bekerja dengan perhitungan. Ia mengatur siasat agar kekuasaannya
terwujud kelak.
Dengan
tingkah laku, bahasa yang dipakai, dan sikapnya, ia ingin member kesan bahwa ia
adalah pemimpin yang sungguh-sungguh demokratis. Demikian pula dengan
pekerjaannya di sekolah, ia berusaha supaya di dalam pergaulan disenangi dan
disegani. Ia sangat sopan dan selalu ingin memberi pertolongan kepada
bawahannya, jika diminta; tetapi sifat-sifat dan sikap itu ditonjolkan dengan
maksud supaya mendapat kepercayaan dari pihak guru yang dikasihinya.
Masalah-masalah
yang dihadapi di sekolah diperbincangkan terlebih dahulu dengan guru-guru yang
berpengaruh sebelum dibawa ke dalam siding dewan guru-guru. Ia yakin bahwa
setiap usul yang bertentangan dengan perbincangan dan putusan bersama guru-guru
itu pasti akan ditolak di dalam rapat. Acara rapat dewan guru disusun oleh
suatu panitia yang bekerja sama dengan kepala sekolah. Di dalam rapat ia banyak
memberi kesempetan kepada guru untuk mengemukakan pendapat dan saran.
Ia ingin
memberi kesan bahwa ia sungguh-sungguh memperhatikan pendapat dan saran itu,
tetapi sebenarnya ia licik sekali dan memanipulasi sedemikian rupa sehingga
pendapatnyalah yang harus disetujui dan diterima rapat. Jika ada guru-guru yang
tidak dapat menyetujui pendapat, mereka tidak berani beraksi dan menentangnya.
Sebagai akibatnya, setiap tahun ada guru yang meminta pindah ke sekolah lain.
Bagi
pemimpin seperti itu, kepemimpinan
demokratis berarti memberi bimbingan dengan lemah-lembut dalam
mengerjakan hal-hal yang dikehendakinya supaua melakukannya. Demikianlah sifat
seorang pemimpin yang “pseudo-demokratis” (pseudo berarti palsu). Ia sebenarnya
bersifat otokratis, tetapi dalam kepemimpinanya ia member kesan demokratis. Kimball Wiles menyebut cara memimpin
seperti itu dengan istilah diplomatic manipulation atau manipulasi politik.
3 .
Kepemimpinan Laissez-Faire
Pemimpin yang bersifat laissez-faire
menghendaki supaya kepada bawahannya diberikan banyak kebebasan. Ia berpendapat
“Biarlah guru-guru bekerja sesuka hatinya, berinisiatif, dan menurut
kebujaksanaan sendiri. Berikan kepercayaan kepada mereka, hargailah usaha-usaha
mereka masing-masing, jangan menghalang-halangi mereka dalam pekerjaan, dan
mereka tidak usah diawasi dalam melaksanakan tugas. Segala sesuatu pasti akan
beres.”
Ia yakin
bahwa guru-guru akan bekerja dengan kegembiraan. Pemimpin tipe ini bekerja
tanpa rencana. Dia berpendapat bahwa suatu rencana akan mengekang kebebasan
guru, oleh karena itu bimbingan pun tidak diberikan kepada mereka. Karena ia membiarkan
guru-guru bekerja sesuka hatinya, pekerjaan mereka tentu tidak teratur. Karena
pekerjaan guru tidak teratur, pekerjaan secara keseluruhan di sekolah itu
umumnya juga sangat tidak teratur dan kacau balau.
Pemimpin
bersikap acuh tak acuh terhadap tugas dan kewajibannya di sekolah dan bersikap
masa bodoh. Ia beranggapan bahwa dengan memberi kebebasan kepada guru-guru,
mereka akan lebih bersemangat dan bergembira dalam melaksanakan tugas mereka.
Ia telah memberi pengertian yang salah dan kacau pada kata demokrasi.
Ia sama
sekali tidak menganakemaskan dan menganaktirikan guru. Semuanya diperlakukan
sama, semuanya merupakan penasihat
baginya. Ia memberi kesempatan banyak kepada para guru untuk membicarakan
pandangan mereka di kantornya.
Rapat dewan
guru sering diadakan dan biasanya berlangsung lama. Setiap guru ingin
memperdengarkan suaranya di dalam rapat tersebut yang berlangsung tanpa susunan
acara yang tersusun dengan rapi dan sistematis. Ada kalanya rapat diadakan jika
diminta oleh seorang atau beberapa guru saja. Kadang-kadang pimpinan rapat
diserahkan kepada salah seorang guru yang dianggap cukup cakap. Sementara rapat
itu berlangsung, kepala sekolah meninggalkan rapat dan melakukan tugas lain.
Sering rapat tersebut tidak menghasilkan apa-apa karena pembicaraan tanpa arah
dan bertele-tele. Guru-guru tidak mengetahui rencana dan kehendak pemimpin
sekolah, sehingga mereka menjadi bingung dan ragu-ragu.
Pemimpin
yang bersifat laissez-faire sebenarnya bukan pemimpin. Sebagai akibatnya
guru-guru selalu sibuk dengan kegemarannya masing-masing, dan semua bekerja
tanpa tujuan bersama. Apa yang menyebabkan pemimpin itu bersifat demikian?
Mungkin ia merasa bahwa ia tidak sanggup menjalankan tugas itu. Mungkin ia juga
tidak mengetahui cara memimpin yang baik dan “letting people do as they please” adalah semboyangnya.
4 . Kepemimpinan Demokratis
Macam
kepemimpinan yang baik dan yang sesuai dewasa ini ialah kepemimpinan demokratis. Semua guru di sekolah bekerja untuk
mencapai tujuan bersama. Semua putusan diambil melalui musyawarah dan mufakat
serta harus ditaati. Pemimpin menghormati dan menghargai pendapat tiap-tiap
guru dan member kesempatan kepada guru-guru untuk mengembangkan inisiatif dan
daya kreatifnya. Pemimpin mendorong guru-guru dalam mengembangkan keterampilannya
bertalian dengan usaha-usaha mereka untuk mencoba suatu metode yang baru,
misalnya metode yang akan mendatangkan manfaat bagi perkembangan pendidikan dan
pengajaran di sekolah.
Pemimpin demokrasi
tidak melaksanakan tugasnya sendiri, ia bersifat bijaksana di dalam pembagian pekerjaan
dan tanggung jawab. Dapat dikatakan bahwa tanggung jawab terletak pada pundak
dewan guru seluruhnya, termasuk pemimpin sekolah. Ia bersifat ramah-tamah dan
selalu bersedia menolong bawahannya dengan member nasihat, anjuran, serta
petunjuk jika diperlukan. Ia menginginkan supaya guru-gurunya maju dan berusaha
mencapai kesuksesan dalam usaha mereka masing-masing. Di dalam kepemimpinanya,
ia berusaha supaya bawahannya kelak dapat menjalankan tugasnya sebagai
pemimpin.
Banyak
perhatiannya yang dicurahkan untuk tugas pendidikan dan pengajaran. Acara rapat
dewan guru ditetapkan bersama guru dan rapat tersebut dilaksanakan secara
teratur serta tidak memakan waktu banyak. Ia dapat membagi waktu untuk rapat
dengan efisien dan kedisiplinan tampak sekali di dalamnya. Kepala sekolah lebih
mengutamakan kepentingan guru daripada kepentingannya sendiri.
Di bawah
kepemimpinannya guru-guru bekerja dengan suka cita untuk memajukan pendidikan
di sekolah. Semua pekerjaan dilaksanakan sesuai dengan rencana yang telah
dipikirkan dan disepakati bersama. Akhirnya, terciptalah suasana kekeluargaan
yang sehat dan menyenangkan. Pemimpin sekolah dianggap sebagai seorang bapak,
saudara, atau kakak yang dapat menempatkan diri sesuai dengan kondisi dan
keadaan lingkungannya.
Hallo kak! apa kaka tau tentang tokohnya siapa?
ReplyDelete